Festival Literasi Indonesia https://www.festivalliterasiindonesia.com Literasi Digital untuk Indonesia Bangkit Sun, 26 Sep 2021 04:24:41 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 Ferry Curtis: Menyuarakan Literasi lewat Lagu https://www.festivalliterasiindonesia.com/ferry-curtis-menyuarakan-literasi-lewat-lagu/ Sun, 26 Sep 2021 04:24:39 +0000 https://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=1362 Sejak tahun 2000-an. Ferry Curtis aktif menyuarakan pentingnya literasi melalui jalur musik balada yang ditekuninya. Ia bisa dibilang sebagai salah seorang penggagas gerakan literasi melalui musik. Banyak lagu ia ciptakan menyuarakan pentingnya literasi dalam kehidupan. Selain tema itu, lagunya juga banyak bertemakan semangat kebangsaan dan kemanusiaan.

Melalui lagu-lagunya, Ferry Curtis berusaha menularkan pentingnya literasi pada masyarakat. Sejak tahun 2000, ia mulai getol mengampanyekan gerakan literasi ke berbagai daerah. Perjalanannya ini membuahkan album “Jangan Berhenti Membaca” yang berisi lima lagu bertema literasi. Ferry mengemas lagu berjudul Ke Pustaka, Mari Membaca, Jangan berhenti Membaca, Buku Sahabatku, dan Cinta untuk Semua Guru, dalam musik balada.

Dalam menulis lagu, Ferry sangat memerhatikan kedalaman makna dari setiap liriknya. Oleh karena itulah, anak bungsu dari delapan bersaudara itu begitu menyadari pentingnya membaca. Namun, pentingnya membaca bukan hanya untuk menulis lirik lagu. Menurutnya orang yang melek literasi memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Ia juga memiliki keyakinan, bangsa yang maju adalah bangsa dengan warga berliterasi tinggi. Hal itu yang menjadi salah satu alasan yang mendorongnya untuk menyuarakan pentingnya literasi bagi kehidupan.

Literasi, kata Ferry, seringkali dimaknai secara sempit, yaitu hanya sekadar membaca buku. Padahal, tidak hanya itu. Menurutnya, ada makna yang jauh lebih besar dari pemahaman tersebut. “Literasi itu memang kata yang mendasarinya membaca. Tapi literasi itu berkembang pada akhirnya. Literasi ini adalah bagaimana mendorong orang untuk menyadari bahwa membaca itu penting, membaca setiap hal,” ujar Ferry.

Baginya, literasi bukan hanya persoalan membaca buku kemudian selesai. Jauh lebih penting adalah memilih bacaan, mengikat makna dari suatu bacaan, mengerti apa yang dibaca dan harus dibaca, serta tentunya menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Siapapun bisa gemar membaca, bahkan memiliki koleksi ratusan hingga ribuan buku. Tapi, hal itu tak menjamin seseorang bisa mengikat makna dan menerapkan apa yang dibaca dalam kehidupan sehari-hari.

“Membaca itu biasa. Tapi yang penting dia sadar apa yang harus dia baca, sadar apa yang harus dipelajari, sadar apa yang harus dilakukan, dan sadar dia melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat di samping untuk dirinya,” tutur Ferry.

]]>
Lagu Sahabat Cahaya oleh Ferry Curtis https://www.festivalliterasiindonesia.com/lagu-sahabat-cahaya-oleh-ferry-curtis/ Sun, 26 Sep 2021 03:56:40 +0000 https://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=1360 Sejak tahun 2000-an. Ferry Curtis aktif menyuarakan pentingnya literasi melalui jalur musik balada yang ditekuninya. Ia bisa dibilang sebagai salah seorang penggagas gerakan literasi melalui musik. Banyak lagu ia ciptakan menyuarakan pentingnya literasi dalam kehidupan. Selain tema itu, lagunya juga banyak bertemakan semangat kebangsaan dan kemanusiaan.

Melalui lagu-lagunya, Ferry Curtis berusaha menularkan pentingnya literasi pada masyarakat. Sejak tahun 2000, ia mulai getol mengampanyekan gerakan literasi ke berbagai daerah. Perjalanannya ini membuahkan album “Jangan Berhenti Membaca” yang berisi lima lagu bertema literasi. Ferry mengemas lagu berjudul Ke Pustaka, Mari Membaca, Jangan berhenti Membaca, Buku Sahabatku, dan Cinta untuk Semua Guru, dalam musik balada.

“Siapapun bisa gemar membaca, bahkan memiliki koleksi ratusan hingga ribuan buku. Tapi, hal itu tak menjamin seseorang bisa mengikat makna dan menerapkan apa yang dibaca dalam kehidupan sehari-hari,”

]]>
Pendidikan Harus Sesuai Kodrat Alam dan Zaman https://www.festivalliterasiindonesia.com/pendidikan-harus-sesuai-kodrat-alam-dan-zaman/ Tue, 14 Sep 2021 02:27:02 +0000 https://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=1356 Merdeka belajar merupakan salah satu nilai penting yang disajikan Elih Sudia Permana dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Masyarakat”. Dalam bukunya, Elih mengungkapkan, sesungguhnya substansi dari merdeka belajar adalah pendidikan yang bertumpu dari pendidikan masyarakat, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat. Dalam proses kegiatannya, pendidikan model ini lebih mengedepankan aspek kemerdekaan dan keharmonisan dengan lingkungan di mana proses pembelajaran itu berlangsung. Kemerdekaan yang dimaksud kata Elih, proses pembelajaran yang menjunjung tinggi kebebasan pengembangan kreativitas dan kontekstualisasi kegiatan pendidikan dengan sosial budaya masyarakat.

“Pendidikan seharusnya bertumpu pada dua hal penting, yaitu kodrat alam dan kodrat zaman,” ujar Elih, saat membedah Buku Pendidikan Masyarakat pada sesi diskusi pada Festival Literasi Indonesia.

Kodrat alam terkait dengan visi pendidikan yang harus berorientasi pada lingkungan, sosial, budaya, dan seni yang ada di sekitar. Menurutnya, kodrat alam ini sesungguhnya jadi substansi pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan masyarakat idealnya menjadi ruh bagi pendidikan lainnya. Dengan kata lain, segala bentuk aktivitas pendidikan tidak boleh dilepaskan dari pendidikan masyarakat. “Inilah peran penting pendidikan masyarakat dalam gerak kehidupan,” kata dia.

Hal penting berikutnya adalah kodrat zaman. Hal ini terkait dengan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, dimana pendidikan sebagai usaha sadar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan karakter ilmu pengetahuan akan terus berkembang sesuai dengan zamannya. Pendidikan dalam kodrat zaman, kata Elih, harus selalu bisa mengikuti perkembangan zaman, tapi apapun perkembangan zamannya, ilmu pengetahuan harus bisa selaras dan berdampak baik pada masyarakat sekitar.

Dua kodrat inilah yang ada dalam pendidikan masyarakat. Ini terlihat, misalnya, pada kegiatan belajar yang berlangsung di satuan pendidikan nonformal, termasuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Di TBM, masyarakat aktif mengakses ilmu pengetahuan melalui aktivitas membaca kemudian membangun komunikasi dan interaksi sosial dengan lingkungan dengan baik. “Pendidikan adalah mengharmoniskan ilmu pengetahuan dan lingkungan masyarakat,” kata dia.

]]>
Hawe Setiawan: Membaca di Tengah Pusaran Digital https://www.festivalliterasiindonesia.com/hawe-setiawan-membaca-di-tengah-pusaran-digital/ Mon, 13 Sep 2021 01:04:55 +0000 https://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=1352 Di pangkal abad ke-21, kita beringsut dari peradaban pradigital ke peradaban digital. Dalam pergeseran ini, kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan menonton dilakukan secara bersamaan. Pernyataan tersebut disampaikan Hawe Setiawan saat menjadi narasumber Bincang Literasi Festival Literasi Indonesia, di Bandung, September 2021.

Ia mengajak peserta diskusi merenungkan apa arti membaca di tengah banjir informasi digital. Menurutnya, makna membaca sudah berubah. Membaca yang dari asalnya sebagai kegiatan aktif, menelaah teks, dan merenungi makna, berubah menjadi sekadar citra bahwa membaca itu hanya berkaitan dengan sekolah, bahkan, ketika wisuda, ritual berfoto dengan latarbelakang buku seolah menjadi keharusan.

“Di ujung abad ke-20, di pangkal abad ke-21, kita beringsut dari peradaban pradigital ke peradaban digital,” ungkap Hawe.

Dalam pergeseran ini, kata Hawe, kegiatan membaca dan menulis, termasuk berbicara, menyimak, dan menonton, berlangsung secara bersamaan dan interaktif. Manusia saat ini bisa melakukan semua hal tersebut sembari berbalas pesan, mengisi, dan mengomentasi status dalam jejaring sosial, menyimak buku audio, dan sebagiannya. “Kita membaca sekaligus menulis,” tambahnya.

Dalam abad ini, sumber-sumber bacaan semakin banyak dan terbuka untuk diakses. Sumber-sumber informasi ini menggelontor tiada henti, menggenangi masyarakat pembaca. Untuk memeroleh informasi, sudah tidak ada lagi batasan. Pembaca dapat memilih beragam media yang tersedia. Tidak lagi hanya dari lembaran koran, majalah, radio, atau televisi. Saat ini, informasi dapat dengan mudah diperoleh dengan berselancar di dunia maya yang menyajikan jejaring tak berujung.

Hal ini salah satunya juga disebabkan beralihnya rupa Pustaka, dari bentuk cetakan menjadi elektronik. Selanjutnya, sumber-sumber informasi ini dapat diakses melalui gawai yang begitu ringan dijinjing dan mudah dibawa kemana saja, serta menembus batas-batas ruang hidup manusia.

Perubahan ini mendesak banyak media konvensional untuk berubah. Beberapa diantaranya sudah beralih sepenuhnya ke media virtual. Tidak hanya itu, akses ke dunia virtual juga sudah menjadi layanan yang tersedia di banyak perpustakaan di penjuru dunia, termasuk TBM di Indonesia.

Menyaksikan perubahan semacam ini, Hawe mengaku bersyukur sekaligus merasa khawatir. Kecepatan lalu-lintas komunikasi antarmanusia menyebabkan manusia saat ini menjadi selalu terburu-buru dan seringkali terlalu cepat mengambil kesimpulan. Gempuran informasi dari berbagai media menjadi salah satu penyebab manusia saat ini menyerap informasi secara tidak utuh. Mereka, kata Hawe, tahu banyak tapi tidak paham, luas tapi dangkal, dan mereka juga semakin jauh dari pergulatan pemikiran.

Menyikapi hal tersebut, Hawe menyebutkan, perlunya ikhtiar untuk meneruskan kebiasaan manusia yang sudah berlangsung ribuan tahun yaitu kesanggupan untuk sabar membaca pikiran sesama manusia, secara tenang, menyerap dan mengolah informasi menjadi pengetahuan untuk menopang rangkaian kerja budaya yang tak akan berkesudahan demi perbaikan kondisi kemanusiaan.

“Itulah yang saya maksudkan dengan belajar membaca. Jika republik literasi mesti dipertahankan, maka perpustakaan, rumah baca, jagat wacana, kiranya adalah tempat yang tepat untuk berbuat demikian,” tulis Hawe di laman republika.co.id.

]]>
Wakil Bupati Dompu H. Syahrul Parsan, ST, MT “Saya tidak Malu Mengakui Angka Buta Aksara” https://www.festivalliterasiindonesia.com/wakil-bupati-dompu-h-syahrul-parsan-st-mt-saya-tidak-malu-mengakui-angka-buta-aksara/ Wed, 07 Jul 2021 14:48:50 +0000 https://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=1141 Pemerintah Kabupaten Dompu berkolaborasi dengan perusahaan swasta untuk meningkatkan program penuntasan buta aksara dan pemberdayaan masyarakat.

“Saya tidak malu mengakui, di daerah kami masih banyak warga yang buta aksara. Kami sangat gembira dan menyambut perhatian pemerintah pusat dalam penuntasan buta aksara.” Pernyataan ini disampaikan Wakil Bupati Dompu H Syahrul Parsan saat berdiskusi soal penuntasan buta aksara dan pemberdayaan masyarakat dengan Koordinator Fungsi Keaksaraan dan Budaya Baca, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Dr. Cecep Suryana, pada 1 Juli 2021 di rumah dinas wakil bupati Dompu.

Wakil Bupati Dompu periode 2021-2026 ini, tak menampik bahwa jumlah penduduk yang masih buta aksara di Kabupaten Dompu masih cukup banyak, terutama mereka yang berusia dewasa dan lanjut. Mereka umumnya tinggal di desa yang jauh dari ibukota kabupaten.

Program pemberdayaan masyarakat
Program pemberdayaan masyarakat

Menurut data BPS 2019 jumlah buta aksara di Kabupaten Dompu sebanyak 8.667 orang atau sekitar 5,56% dari jumlah populasi penduduk usia 15-59 tahun di Kabupaten Dompu yang mencapai 155.841 orang. Angka ini turut menyumbang jumlah penduduk buta aksara di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mencapai 244.214 orang atau sekitar 7,45 % dari populasi penduduk NTB. Kondisi ini juga menempatkan Provinsi NTB sebagai provinsi kedua terpadat buta aksara setelah Provinsi Papua.

Syahrul Parsan menyebutkan, pemerintah kabupaten terus berupaya untuk meningkatkan keberaksaraan dan pemberdayaan masyarakat. Selain mengandalkan anggaran kabupaten, juga berusaha dengan mengajak perusahaan-perusahaan swasta di Kabupaten Dompu untuk menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membiayai program pengembangan keaksaraan (literasi) serta pemberdayaan masyarakat, terutama yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal yang ada di Kabupaten Dompu.

Pembelajaran “Calistung” bagi anak usia sekolah rentan buta aksara
Pembelajaran “Calistung” bagi anak usia sekolah rentan buta aksara

Upaya ini telah membuahkan hasil. Tercatat sampai dengan 2021, kolaborasi ini telah membiayai berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, di antaranya, Pendidikan Keaksaraan Dasar bagi penduduk rentan buta aksara. Tercatat, setiap tahunnya ada 50 sampai dengan 170 orang yang danai oleh CSR. Kegiatan berikutnya adalah melalui kegiatan keagamaan dengan mengerahkan sekitar 20 s.d. 200 orang, pendidikan keterampilan produktif berbasis pertanian/herbal dan UMKM sekitar 10-30 orang per tahun. Pendanaan CSR tersebut juga menyentuh penanganan anak berkebutuhan khusus (ABK) termasuk pengobatan anak-anak cacat atau berpenyakit serius.

Pemanfaatan dana CSR perusahaan ini sudah berjalan di Kecamatan Hu’u melalui kolaborasi dengan PKBM dan berbagai pihak terkait. Dalam jangka panjang, Pemerintah Kabupaten Dompu akan mengupayakan dukungan serupa dari berbagai sumber untuk menjangkau tujuh kecamatan lainnya di Kabupaten Dompu. (cv)

]]>
Berburu Waktu untuk Berubah (Bagian 2) https://www.festivalliterasiindonesia.com/berburu-waktu-untuk-berubah-bagian-2/ Wed, 02 Sep 2020 02:17:44 +0000 http://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=986 Harus Segera Berbenah

Setelah 15 menit berlalu, tibalah giliran Dr. Samto yang memberikan tinjauannya. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilantik pada 4 Juni 2020 itu menekankan kesegeraan untuk berbenah untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di tanah air dengan paradigma pendidikan yang baru.

Dalam paparannya, Dr. Samto berangkat dari manajemen perubahan dengan ramalan-ramalan yang akan terjadi di masa depan. Mula-mula dia mengetengahkan konsep VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang pertama kali digunakan pada 1987 di bidang militer yakni bila terjadi kondisi yang penuh ketidakpastian dan secara dinamis mengubah situasi militer yang mana terjadi lack of information.

Inti dari VUCA adalah lingkungan yang labil karena perubahan terjadi amat cepat dan dalam skala besar (Volatile). Dengan kondisi ini yang terjadi adalah sulitnya memperkirakan dengan akurat apa yang akan terjadi (Uncertain), tantangannya menjadi lebih rumit karena banyaknya faktor yang saling terkait (Complex), serta ketidakjelasan suatu kejadian dengan mata rantai akibatnya (Ambiguous). Bagi di dunia pendidikan saat ini, Dr. Samto mencontohkan dengan kita tidak siap saat tiba-tiba harus menggunakan zoom, tiba-tiba harus belajar dari rumah, dan lain-lain. Padahal bila, katanya, bila kita mengingat konsep VUCA kita dapat mempersiapkan diri sehingga bisa bertahan. Meski yang terjadi adalah kita tenang-tenang saja, sehingga akhirnya terkejut-kejut dengan perubahan yang serba mendadak.

Ramalan kedua yang disajikan oleh Dr. Samto adalah Proyeksi McKinsey untuk tahun 2030. Menurut lembaga konsultan manajemen McKinsey & Company dalam laporannya yang bertajuk “Otomasi dan masa depan pekerjaan di Indonesia: Pekerjaan yang hilang, muncul dan berubah” diperkirakan bahwa di Indonesia pada tahun 2030 akan ada 23 juta pekerjaan yang dapat digantikan oleh proses otomasi; 27 juta hingga 46 juta lapangan kerja baru dapat diciptakan dalam periode tersebut; dan 10 juta dari lapangan kerja tersebut merupakan jenis pekerjaan baru yang tidak ada sebelumnya.

Dengan menyajikan perkiraan ini, Dr. Samto tengah menggarisbawahi bahwa bila kita masih menggunakan paradigma pendidikan yang lama, maka potensi yang tergilas oleh otomatisasi pekerjaan akan kian banyak. Sehingga, dengan demikian, ia menyatakan bahwa perkiraan ini juga seharusnya sudah mewarnai pendidikan kita di tanah air, demi menyiapkan generasi masa depan kita untuk kondisi-kondisi yang sangat tidak menentu ini.

Ramalan selanjutnya yang disajikan Dr. Samto adalah akselerasi adaptasi teknologi digital. Hal ini ditimbanya dari Hukum Moore (Moore’s Law), yang dirumuskan Gordon E. Moore pada tahun 1965. Dalam konteks kompetisi fabrikasi chip silikon di era mikroelektronika modern, Moore terkenal dengan kutipannya “With unit cost falling as the number of components per circuit rises, by 1975 economics may dictate squeezing as many as 65,000 components on a single silicon chip”. Hal ini bila disimak dari penyajian Dr. Samto adalah diramalkan bahwa perkembangan teknologi akan melesat jauh melebihi kemampuan adaptasi manusia, maka disarankan oleh Moore itu bahwa manusia itu harus belajar lebih cepat dan pemerintah harus cerdas dalam arti memberi fasilitas kepada seluruh rakyatnya agar masyarakatnya lebih cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Dengan latar tersebut, ia melihat bahwa dalam kurun waktu 2 tahun belakangan kita selalu membicarakan revolusi industri 4.0 tapi baru sebatas riuh rendah di arena seminar dan pidato pencitraan. Demikian pula infrastruktur masih rendah dan budaya belajar mandiri masih memprihatinkan. Para pelajar kita tidak dibiasakan belajar yang kontekstual, untuk memecahkan masalah-masalah keseharian di dalam lingkungan hidup mereka. Mereka dijejali hapalan, padahal yang sangat penting adalah pemahaman. Para pelajar di tanah air pun sudah terbiasa diawasi dengan ketat, sejak masuk hingga pulang, dan mereka baru akan menunjukkan respon bila diberikan stimulus. Padahal seharusnya mereka diberi kepercayaan, tanggung jawab, jangan sampai semuanya diatur dan dirumuskan oleh pendidik.

Itulah perubahan paradigma pendidikan yang dimaksudkan Dr. Samto: transformasi pembelajaran dari behavioristik ke konstruktivistik. Dari yang biasanya murid diberitahu, guru sebagai sumber utama, bersifat tekstual, berbasis konten, parsial, jawaban tunggal dan verbalisme menjadi peserta didik dipacu untuk mencari tahu, berbasis aneka sumber belajar, menerapkan pendekatan ilmiah (STEAM), berbasis komptensi, holistik/terpadu, punya jawaban multidimensi dan kontekstual, kreativitas serta fleksibel.

Dengan transformasi pembelajaran tersebut diharapkan muncul pula VUCA lainnya, yakni peserta didik dirangsang agar memiliki tujuan dan target sendiri (Vision); mereka didorong untuk memahami permasalahan yang dihadapi di sekitarnya sekaligus dirangsang untuk memecahkan masalah tersebut (Understanding); mereka juga didorong untuk mempunyai kompetensi, bahkan ditambah dengan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, yang merupakan tuntutan hidup pada abad ke-21 ini (Competency); dan mereka pun seharusnya dapat bersikap luwes, fleksibel, tidak mudah putus asa, tangguh dan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi (Agility).

Dengan demikian, dengan contoh nyata yang dilakukan Ahmad Bahruddin ditambah tantangan dan peluang di masa sekarang dan yang akan datang yang disajikan Dr. Samto, seyogyanya kita memang harus berburu waktu untuk mengubah kerangka berpikir pendidikan di tanah air. (Atep Kurnia)

]]>
Berburu Waktu untuk Berubah (Bagian 1) https://www.festivalliterasiindonesia.com/berburu-waktu-untuk-berubah-bagian-1/ Wed, 02 Sep 2020 02:03:53 +0000 http://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=983 Menurut makna kamus, paradigma dapat berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut. Pengertian ini berlaku dalam ilmu bahasa. Di situ juga ada makna bahwa paradigma adalah model dalam teori ilmu pengetahuan. Nah, satu lagi bermakna sebagai kerangka berpikir.

Bagaimana bila kata paradigma dikaitkan dengan perubahan dan pendidikan? Barangkali salah satu jawabannya dapat disimak dari seminar pertama dalam rangkaian Pekan Perayaan Festival Literasi Indonesia (FLI) 2020 yang bertajuk “Paradigma Baru Pendidikan”. Dalam acara yang dihelat secara daring pada Senin (01/09) antara pukul 16.00-18.00 wib itu ihwal pertautan antara paradigma, perubahan, dan pendidikan berjalin kelindan menjadi sesi pemaparan yang menarik.

Faiz Ahsoul didaulat untuk menjadi pemandu seminar ini. Pegiat di Forum Taman Bacaan Masyarakat serta I-Boekoe ini sejak semula menyebutkan bahwa paradigma baru pendidikan Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari Covid-19 dan bagaimana responnya dan adaptasinya, supaya pendidikan terus bisa berjalan. Selain itu, ia juga, sebagaimana makna kamus di atas, menyatakan bahwa paradigma adalah konsep berpikir yang tidak terlepas dari konteksnya yang bila dikaitkan dengan pendidikan akan menjadi pembingkainya.

Untuk menjawab bagaimana paradigma pendidikan di masa pandemi seperti sekarang ini, Faiz mempersilakan dua narasumber untuk menyampaikan pandangannya. Dua narasumber tersebut adalah Dr. Samto (Direktur PMPK Kemendikbud) dan Ahmad Bahruddin (Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Qaryah Thayyibah). Dari antara kedua narasumber tersebut, Faiz mempersilakan Ahmad lebih dulu mendedahkan pemikirannya seputar isu yang diangkat tersebut.

Ujungnya Adalah Nalar Kritis
Sesuai dengan kapasitasnya sebagai Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Qaryah Thayyibah di Kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Ahmad Bahruddin lebih banyak merefleksikan pengalaman-pengalaman serta pemikiran-pemikirannya selama mengelola pusat kegiatan belajar tersebut. Ya, selama 17 tahun, sejak 2003, ia “mempraktekkan pendidikan pemerdekaan yang berwawasan kemandirian belajar dan apresiasi potensi” untuk anak-anak usia SMP dan SMA dengan status sebagai Pendidikan Kesetraan (Paket B dan C).

Pusat kegiatan belajar yang dibina Ahmad Bahruddin berprinsip empat hal, yakni “Pertama, semangat pembebasan dan perbaikan. Hal ini mensyaratkan perilaku kritis, dinamis dan kreatif, tak sekedar dogmatis dan statis. Kedua, asas keberpihakan terhadap siapapun yang berhak memperoleh pendidikan, terutama warga miskin dan tak mampu. Ketiga, kegembiraan sebagai dasar metodologi dalam proses belajar. Hal ini mensyaratkan peran guru sebagai fasilitator dan sikap murid yang dibimbing agar partisipatif. Keempat, prinsip kebersamaan kolaboratif dan partisipasi semua pihak dalam merancang sistem, yakni pendamping (guru), pengelola sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar. Hal ini sangat penting agar terciptanya sistem sekolah yang membumi dan melek lingkungan”.

Dengan kerangka “pendidikan pemerdekaan yang berwawasan kemandirian belajar dan apresiasi potensi” berikut empat prinsip itu pula Ahmad Bahruddin menyampaikan pandangannya seputar perubahan paradigma pendidikan di masa pandemi Covid-19. Dari kacamatanya, dengan adanya COvid-19, justru kita bisa kembali ke paradigma pendidikan yang ideal atau dapat melakukan hijrah ke arah pendidikan berparadigma baru.

Ia menyebutkan bahwa dalam paradigma pendidikan lama, guru, satuan pendidikan, selalu punya asumsi untuk mentransfer pengetahuan dan teknologi, informasi, ke peserta didiknya. Sehingga peserta didik dianggap sebagai objek penderita yang menerima pengetahuan, teknologi, informasi dari satuan pendidikan. Sekaligus pula peserta didik diasumsikan sebagai orang yang bodoh, sebagai kantong kosong yang harus diisi pendidik. Kondisi inilah, menurutnya, yang mengharuskan “hijrah” ke arah paradigma pendidikan yang bersifat fasilitatif. Dalam hal ini, tugas satuan pendidikan adalah sebagai fasilitator, untuk menyemangati agar pendidikan berjalan sesuai dengan konteksnya.

Dengan adanya wabah Covid-19 memungkinkan berubahnya model belajar yang tadinya berpusat di pengajar, sekarang berpusat di pembelajar itu sendiri. Saat sebelum adanya pandemi, pemerintah sangat besar memainkan peran pendidikan, kini yang harus dikedepankan, menurut Ahmad adalah “hijrah ke paradigma community role (peran komunitas)”. Bila paradigma ini bisa berjalan yakni dengan berpatokan bahwa pendidikan dimaksudkan mempertahankan, memberdayakan, dan memuliakan kehidupan dengan adanya Covid-19 ya biasa-biasa saja. Karena tujuan akhir pendidikan itu adalah nalar kritis bagi warga pembelajar, sehingga tidak bergantung kepada apapun dan siapapun, terlebih di era revolusi ICT saat ini.

Dengan suasana yang mengharuskan peserta belajar harus di rumah, dengan media yang dimilikianya, guru atau pengajar bisa melakukan penyemangaatan, fasilitasi, tidak harus tatap muka. Yang penting siswanya aktif, kreatif, dan inovatif, sehingga tidak bergantung kepada guru. Kemudian, Ahmad menggarisbawahi perubahan pandangan tersebut juga ditandai dengan perubahan pandangan terhadap sekolah. Katanya, “Ruang yang disebut sekolah itu harus menjadi ruang refleksi bersama untuk memperoduksi pengetahuan, bukan mengonsumsi pengetahuan yang dibawa oleh seorang guru.”

]]>
Ketahanan Sosial Berbasis Potensi Lokal https://www.festivalliterasiindonesia.com/ketahanan-sosial-berbasis-potensi-lokal/ Sun, 23 Aug 2020 05:06:47 +0000 http://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=532 Partisipasi tidak lahir dari ruang hampa seperti praktik baik gerakan literasi masyarakat Nursyda Syam dan Yusrizal KW dalam ketahanan sosial. Faiz Ahsoul menyitir ketahanan sosial berbasis pada potensi lokal dalam gerakan literasi masyarakat dari kedua narasumber tersebut. Satu hal yang perlu ditelisik, menurutnya, yakni kita memiliki daya dan berdaya. Bagaimana memunculkan daya dan berdaya? Kuncinya, yakni partisipasi ketahanan sosial dalam gerakan literasi masyarakat.

“Arah gerakan literasi kita mau ke mana?” ia kemudian mendedahkan diksi literasi sebagai milik bersama, hampir semua bidang menggunakannya. Namun, perbedaannya tidak sekadar ‘literasi adalah’. Menurutnya, terdapat kesadaran, kemampuan, dan kapasitas, yang merupakan tiga syarat untuk melahirkan partisipasi sosial.

Pada sebuah diskusi Pengurus Pusat dan Pengurus Wilayah Taman Bacaan Masyarakat, ia teringat dengan pembahasan bahwa payung hukum dan piranti lain tanpa keberadaan relawan maka gerakannya tidak akan berjalan. Faiz mengutip, “Selama kadernya ada, gerakan akan tetap berjalan,” dari pernyataan Opik, Ketua Forum TBM Jawa Barat dari diskusi tersebut. Artinya, nomenklatur dan payung hukum hanya sebagai piranti, jika kaderisasi terus tumbuh dan hidup, maka tidak terlalu khawatir untuk keberlangsungan gerakan ke depannya.

“Intinya bahwa kaderisasi berkaitan dengan kapasitas dan partisipasi publik!” tegas penggemar Noam Chomsky itu.

Faiz merunut soal kapasitas yang tidak terlepas dari pola regulasi, kebijakan, ekstraktif, distributif, responsif, dan jaringan. Inti sari dari hasil memeras regulasi dan kebijakan/aturan merupakan terobosan dalam keadaan buntu seperti masa pandemi. Hampir semuanya runtuh, collapse, jika partisipasi kita sekadar pemahaman gotong royong/kerja bakti bersifat fisik maka nilai-nilai ekstraksi sebuah sistem sosial tidak begitu muncul untuk menemukan solusinya. Selanjutnya, hal terpenting dari distribusi, yakni bagaimana pemerataan, berbagi kesempatan, satu sama lain saling memosisikan diri untuk memahami bahwa ada yang lebih butuh dari kita. Sebagai pegiat literasi dalam wadah besar Forum TBM, satu dengan yang lain juga harus responsif. Ketika ada kejadian di sebuah wilayah yang menimpa TBM tertentu, harus merespons untuk membantu dengan cara mengukur kapasitas masing-masing.

Untuk menjawab keempat poin yang telah dijelaskan Faiz sebelumnya, kerja-kerja jaringan/kemitraan harus dibangun karena pihak mana pun tidak bisa bergerak sendirian. Tidak sebatas membesarkan TBM masing-masing, tetapi harus memiliki jaringan untuk berkolaborasi. Kesadaran atas kapasitas dari empat poin sesuai penjelasannya dapat memetakan rencana strategis dan praksis, termasuk kesepakatan bersama serta energi material atau pendanaannya. Pemahaman gotong royong dalam gerakan literasi masyarakat yang sebatas kerumunan atau kumpulan, “Geruduk ke sana ke mari meskipun niatnya hanya responsif semata maka sifatnya sementara,” terangnya kemudian.

Menurutnya jika berbicara gerakan harus berpikir panjang dan jauh, tidak bisa secara taktis. Ada fondasi pemikiran yang harus menjadi kesadaran kolektif. Bahan utama ketahanan sosial, kuncinya kepercayaan. Satu dengan yang lain jika sudah saling percaya berpengaruh terhadap gerakan yang akan lebih progresif. Kita akan bisa meminimalisir hal-hal kontraproduktif. Namun, apakah percaya itu sebuah kata yang bersifat abstrak tanpa diikat hal-hal bersifat konkret? Jelas bisa! Salah satunya, terkait kapasitas sumber daya dalam proses kaderisasi maka kerja-kerja kolektif akan berjalan.

Kapasitas pemangku kebijakan harus berbanding lurus dengan sumber daya pegiat agar jaringan kemitraan tercipta kepercayaan satu sama lain. Ketika kapasitas pemangku kebijakannya sangat progresif, bagus, visioner, tapi pegiat literasinya tertinggal jauh maka ketahanan sosialnya sulit terwujud. Keduanya butuh jembatan, yaitu transparansi pemangku kebijakan (pemerintah, swasta, masyarakat). Satu sama lain harus bisa membuka diri atas kapasitas yang jika perlu di-upgrade. Seperti diketahui, Direktorat PMPK memberi ruang untuk pegiat literasi agar meningkatkan kapasitasnya.

Berdasarkan kesimpulannya, bahwa partisipasi dan kolaborasi harus membangun pola hubungan baru antartiga pemangku kepentingan: pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketiganya melakukan penyesuaian tata kerja sama, duduk bersama dengan pola kolaborasi, membangun kultur kerja berbasis partisipatif. Jika salah satunya patah maka negara ini tidak berjalan dengan baik.

]]>
Filosofi Menanam Pohon Jati Literasi di Bukik Ase, Padang https://www.festivalliterasiindonesia.com/filosofi-menanam-pohon-jati-literasi-di-bukik-ase-padang/ Sun, 23 Aug 2020 05:05:23 +0000 http://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=529 Gerakan literasi dalam rangka membangun masyarakat ibarat menanam pohon jati. Hasilnya, tak serupa menanam kangkung yang bisa dipetik dalam tiga atau empat minggu. Pohon jati membutuhkan waktu 7 sampai 14 tahun, untuk bisa diambil dengan harga mahal karena kualitasnya. Dibutuhkan kesabaran ekstra, dan semangat kegotoroyongan yang terjaga dalam waktu panjang.

Filosofi menanam pohon jati tersebut tumbuh kuat dari dalam diri Yusrizal KW saat terlibat dalam gerakan literasi masyarakat sejak membersamai Komunitas Tanah Ombak. Setelah tiga tahun berlalu, ia berhijrah untuk mendenyutkan literasi di wilayah-wilayah yang tingkat kesulitannya tinggi. Kini, ia memulai kembali gerakan literasi masyarakat dari nol di Bukik Ase, Padang. Siklus tiga tahunannya itu merupakan kesadaran untuk membangun literasi masyarakat di wilayah berbeda agar merata.

Gerakan Literasi, baginya, adalah gerakan membangun masyarakat dengan cara yang literat. Karena itu, sebuah proses sangat penting untuk melahirkan atau mengubah seseorang menjadi lebih literat di masyarakat. Gerakan literasi sesungguhnya dapat membantu masyarakat dengan membangun manusianya. Sebuah masyarakat yang menerima manfaat dari gerakan literasi adalah masyarakat yang berilmu pengetahuan dan berwawasan.

Menurut Ketua Forum TBM Sumatera Barat itu, gerakan literasi merupakan ranah perjuangan, karena di dalamnya, ada upaya “membangun masyarakat”, yang artinya adalah: menginspirasi satu orang atau lebih dalam menemukan potensi diri atau kolektif sebagai kemajuan literat. Kemajuan literat, dalam hal ini, bermakna memiliki kemampuan mengatasi masalah dan menemukan solusi kreatif karena berilmu pegetahuan atau skill dari kemauan belajar. Untuk hal itu, relatif tidak mudah, bahkan dapat perlawanan sebagaimana pengalamannya.

“Upaya pegiat membangun gerakan literasi demi masyarakat memiliki pengetahuan untuk memecahkan masalah sehingga berpengaruh terhadap kemauan belajarnya yang meningkat. Selain itu, gerakan literasi dapat mengajak masyarakat untuk berekreasi ke dunia baru, dalam hal ini, menemukan potensi, kearifan lokal, yang menjadi kekayaan bersama. Pada akhirnya, kemajuan gerakan literasi masyarakat dapat tercipta dari saling belajar satu sama lain,” ujarnya.

Tingkat keberhasilan gerakan literasi masyarakat, menurutnya ditentukan oleh komitmen dan ketangguhan relawan, berikut program-program serta kemampuan dalam mempertemukan berbagai potensi serta sumber daya setempat. Ia menambahkan bahwa syarat dalam gerakan literasi, yaitu ketangguhan relawan literat. Artinya, seseorang atau sekelompok orang yang berilmu/berwawasan dan memiliki kemampuan berkomunikasi serta membangun hubungan baik dengan lingkungan sekitar. Karenanya, karakter relawan literat yang sangat menyadari ketulusan dalam berliterasi merupakan energi positif yang tak akan melelahkan dalam berbuat dan berbagi.

Penggagas Padang Membaca itu pun menerangkan bahwa semangat kerelawanan, adalah semangat pengabdi masyarakat, yang kehadirannya mengemban amanah “sang pencerah”, tanpa pamrih meluangkan waktu, pikiran, tenaga dan bahkan finansial sebagai bagian perjuangan kaum literat dalam “membangun masyarakat”. Semangat kegotongroyongan, dalam gerakan literasi, sesuatu yang bisa didefenisikan sebagai upaya bersama membangun, yang kontribusinya berdampak kepada masyarakat supaya literat. Masyarakat literat, memahami semangat gotong royong sebagai energi yang satu sama lain saling menguatkan, kemudian berdampak pada apa yang diinginkan atas nama kemajuan bersama.

“Akhir-akhir ini, saya senang menggunakan istilah literat karena pemahaman keberilmuan tersebut hasil dari membaca, diskusi, menonton, sebagai modal. Pegiat membantu masyarakat untuk menemukan potensinya agar berkembang dan menjadi lebih baik,” lanjut Yusrizal.

Ia kerap melibatkan banyak pihak, baik tokoh masyarakat, pengusaha, LSM, politisi, walikota, untuk memperkenalkan kepada mereka tentang gerakan literasi masyarakat. Karena kata “gerakan”, berarti sebuah kerja membangun, menjalankan program sesuai apa yang dicita-citakan bagi masyarakat setempat dengan mengajak banyak orang dari berbagai tempat, komunitas, perguruan tinggi, tokoh, pejabat, politisi, dan lainnya, menjadi bagian dari perjuangan, baik sebagai donatur, simpatisan aktif, sharing program dan sebagainya.

Program-program yang telah digagas dan diselenggarakan Yusrizal di Bukik Ase, diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat setempat. Misal, pusat kegiatan belajar, PAUD Gratis, pelatihan bagi ibu-ibu, dll. Ia pantang menyerah untuk menemukan potensi-potensi khas setempat, yang menjadi bagian mereka, lalu mewadahi proses belajar dan beraktivitas. Pelibatan masyarakat, dalam hal ini, mencari masukan program dan kemudian mengajak mereka menyelenggarakannya secara bersama-sama.

Seperti dijelaskannya, bahwa semangat kegotongroyongan merupakan khas orang Minang. Cirinya seperti pada kalimat Basamo Mangko Manjadi, yang artinya bersama makanya berhasil, atau, bersama kita bisa. Ada adagium kearifan lokal, katanya, yaitu duduak surang basampiaksampiak, duduak basamo balapang-lapang, berarti duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Filosofinya, sesuatu yang diperjuangkan dan dikerjakan bersama-sama, peluang berhasilnya besar, karena: Gotong royong adalah energi yang menggerakkan perubahan dahsyat.

Semangat kegotongroyongan bagi orang Minang juga tumbuh dalam berdonasi untuk membantu dan meringankan perjuangan atau merayakan dalam upaya membangun bersama. Ketika ada ajakan berdonasi, dan orang Minang setuju berpartisipasi, maka ia akan menjawab: Oke, saya ikut nyumbang nanti, ya. Jika tak penuh ke atas, penuh ke bawah, yang berarti minimal ia akan bantu walau sedikit (penuh ke bawah). Dalam bahasa lain: ada istilah sato sakaki yang artinya ikut sekaki, yang bisa dimakna-artikan: menjadi bagian dari langkah-langkah besar perjuangan. Itu adalah spirit kearifan lokal penuh makna, dan bisa dimanfaatkan oleh para relawan sosial.

]]>
Mempolong Merenten: Genetika Spiritual Lombok Utara https://www.festivalliterasiindonesia.com/mempolong-merenten-genetika-spiritual-lombok-utara/ Sun, 23 Aug 2020 04:49:19 +0000 http://www.festivalliterasiindonesia.com/?p=526 Falsafah hidup Mempolong Merenten menyerap dalam laku kehidupan masyarakat Lombok Utara. Siapa pun yang hidup, lahir, dan tumbuh, dengan latar agama dan kepercayaan apa pun adalah saudara. Terlihat dari sebuah dokumentasi seorang biksu yang membantu seorang muslim untuk berwudu. Ilustrasi tersebut membuat geger jagat media sosial karena menunjukkan kerukunan umat beragama di Indonesia yang sangat indah. Falsafah tersebut tumbuh juga dari seorang Nursyida Syam yang mulai mendirikan Klub Baca Perempuan di Lombok Utara pada tahun 2006. Awalnya, gerakan yang digagasnya terlahir dari impian pribadi. Ia mengatakan kepada Lalu Badrul, calon suaminya saat itu, bahwa ingin memiliki Taman Bacaan yang bisa diakses oleh siapa saja. Setelah bersepakat, keduanya berkomitmen untuk membangun impian bersama-sama. Lalu Badrul memberikan mahar sebuah buku kepada Nursyida Syam pada hari pernikahan yang bertepatan dengan peringatan Hari Buku Internasional, 23 April 2006. Nursyda dengan suaminya membuka TBM pertama kali bersama enam orang teman perempuan lain di Selong pada tahun 2006.

Dalam perjalanannya, Nursyida membentuk sayap gerakan Kanak Pecinta Baca yang awalnya bernama Sekolah Alam Anak Negeri. Sayap gerakan tersebut berusaha untuk menghadirkan semacam pendidikan alternatif sebagai suplemen bagi anak-anak dan orang tua untuk belajar bersama. Ketika anak-anak pulang dari sekolah, ia berusaha untuk menciptakan ruang aktivitas belajar, termasuk untuk orang tuanya.

“Sekarang, kurang-lebih sekitar 300 anak Kanca tersebar di berbagai sekolah dengan ragam aktivitas di Kabupaten Lombok Utara,” aku perempuan tangguh itu.

Gerakan Klub Baca Perempuan tidak hanya berkutat pada gerakan literasi di masyarakat, tetapi juga, berusaha mewarnai gerakan literasi sekolah. Anak-anak Kanca sebagai jembatan pihak sekolah dengan Klub Baca Perempuan, berperan aktif mengampanyekan gemar membaca, mengisi ruang-ruang kosong yang disiapkan sekolah. Misalnya, kegiatan latihan dasar kepemimpinan untuk OSIS dengan materi literasi. Termasuk, membantu perpustakaan sekolah yang luluh lantak karena gempa pada 2018.

Tidak berhenti di sana, gerakan Ibu Rumah Tangga Membaca berusaha memberi ruang para ibu sebagai madrasah pertama yang harus menjadi ensiklopedia dan kamus berjalan bagi anak-anaknya. Hal tersebut terkait keinginan Nursyida dalam membangun masyarakat madani dan cerdas. Perjuangannya tersebut demi terbentuk keluarga-keluarga yang gemar membaca. Alasannya, seorang anak suka membaca dapat terwujud jika ibunya juga gemar membaca.

Kekuatan Klub Baca Perempuan bertumpu pada kemitraan dan jaringan. Nursyida sadar diri atas kekurangan sumber daya manusia, materi, dan lainnya. Maka, ia mengoptimalkan keberadaan mitra dan jaringan, menjaga hubungan baik dengan semua pihak. Terutama pemerintah daerah, sesama komunitas literasi, dan komunitas kreatif lainnya.

Bank Buku sebagai kekuatan lain dari jaringan kerabat Klub Baca Perempuan yang berada di luar Lombok Utara. Fungsinya untuk menerima pengiriman bantuan buku dari luar Lombok Utara secara berkala yang kemudian disebarkan ke komunitas-komunitas di sana.

Berbicara solidaritas sosial, bertautan dengan prinsip dasar gerakan literasi Klub Baca Perempuan: Pertama, literasi sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan beragam masalah sosial, kemiskinan, pernikahan dini/pencegahan pernikahan anak, intoleransi, ketimpangan sosial, lingkungan hidup. Kedua, membangun kesadaran kolektif dalam gerakan sosial. Permasalahan sosial dapat dientaskan jika semua pihak bergotong royong, tidak mungkin menumpukan pada pemerintahan atau dinas sosial saja. Klub Baca Perempuan hadir sebagai unit alternatif untuk membantu masyarakat.

Saat bencana gempa dengan kekuatan 7.0 SR, pada 5 Agustus 2018, Nursyida mengisahkan ujian solidaritas masyarakat Lombok Utara. Klub Baca Perempuan merespons keadaan darurat tersebut dengan mendirikan posko bantuan gempa, komunitas pendamping masyarakat pascagempa, program penanggulangan bencana kekeringan, dan rumah singgah.

Gerakan literasi kemanusiaan pada masa pandemi di Lombok Utara, menurutnya tergagap juga menghadapi realitas buntu. Terkhusus, para orang tua pemandu wisata tak bisa bekerja sehingga pengangguran menjadi masalah besar. Formula gerakan dalam merespons pandemi, Klub Baca Perempuan memproduksi 1600 masker untuk dibagikan kepada anak-anak Kanca dan keluarga, terutama pedagang sayur keliling, tukang ojek, dan mereka yang laik dibantu. Selain itu, upaya penggalangan dana untuk membantu APD tenaga medis pun dilakukan sebagai penghormatan kepada mereka yang berada di garda terdepan. Bersama Togu, pendiri Alusi Tao Toba, berinisiatif membuat 150 Face Shield. Berupaya memberi bantuan bahan pangan untuk pejuang ekonomi keluarga, terutama anak-anak yang orang tuanya terkena PHK. Mendirikan posko belajar selama pandemi yang digunakan untuk anak-anak belajar dengan protokoler ketat.

“Harta paling besar yang dimiliki kami, yaitu hubungan baik, persaudaraan, persahabatan, dan kemitraan, dengan semua pihak. Terutama, Kemendikbud, Forum TBM, Pustaka Bergerak, dan semua pegiat yang selama ini membersamai Klub Baca Perempuan,” ujar Nursyda.

Kemitraan lain yang telah berjejaring dengan Klub Baca Perempuan, yakni Pemerintah Daerah Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Utara, Iuva Global Singapura, Rumah Kita Bersama, PKN STAN, Gramedia, Alusi Tao Toba, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Lombok Utara, Komunitas lokal Pasir Putih, Pawang Rinjani, dll.

]]>