Hawe Setiawan: Membaca di Tengah Pusaran Digital

Hawe Setiawan: Membaca di Tengah Pusaran Digital

Di pangkal abad ke-21, kita beringsut dari peradaban pradigital ke peradaban digital. Dalam pergeseran ini, kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan menonton dilakukan secara bersamaan. Pernyataan tersebut disampaikan Hawe Setiawan saat menjadi narasumber Bincang Literasi Festival Literasi Indonesia, di Bandung, September 2021.

Ia mengajak peserta diskusi merenungkan apa arti membaca di tengah banjir informasi digital. Menurutnya, makna membaca sudah berubah. Membaca yang dari asalnya sebagai kegiatan aktif, menelaah teks, dan merenungi makna, berubah menjadi sekadar citra bahwa membaca itu hanya berkaitan dengan sekolah, bahkan, ketika wisuda, ritual berfoto dengan latarbelakang buku seolah menjadi keharusan.

“Di ujung abad ke-20, di pangkal abad ke-21, kita beringsut dari peradaban pradigital ke peradaban digital,” ungkap Hawe.

Dalam pergeseran ini, kata Hawe, kegiatan membaca dan menulis, termasuk berbicara, menyimak, dan menonton, berlangsung secara bersamaan dan interaktif. Manusia saat ini bisa melakukan semua hal tersebut sembari berbalas pesan, mengisi, dan mengomentasi status dalam jejaring sosial, menyimak buku audio, dan sebagiannya. “Kita membaca sekaligus menulis,” tambahnya.

Dalam abad ini, sumber-sumber bacaan semakin banyak dan terbuka untuk diakses. Sumber-sumber informasi ini menggelontor tiada henti, menggenangi masyarakat pembaca. Untuk memeroleh informasi, sudah tidak ada lagi batasan. Pembaca dapat memilih beragam media yang tersedia. Tidak lagi hanya dari lembaran koran, majalah, radio, atau televisi. Saat ini, informasi dapat dengan mudah diperoleh dengan berselancar di dunia maya yang menyajikan jejaring tak berujung.

Hal ini salah satunya juga disebabkan beralihnya rupa Pustaka, dari bentuk cetakan menjadi elektronik. Selanjutnya, sumber-sumber informasi ini dapat diakses melalui gawai yang begitu ringan dijinjing dan mudah dibawa kemana saja, serta menembus batas-batas ruang hidup manusia.

Perubahan ini mendesak banyak media konvensional untuk berubah. Beberapa diantaranya sudah beralih sepenuhnya ke media virtual. Tidak hanya itu, akses ke dunia virtual juga sudah menjadi layanan yang tersedia di banyak perpustakaan di penjuru dunia, termasuk TBM di Indonesia.

Menyaksikan perubahan semacam ini, Hawe mengaku bersyukur sekaligus merasa khawatir. Kecepatan lalu-lintas komunikasi antarmanusia menyebabkan manusia saat ini menjadi selalu terburu-buru dan seringkali terlalu cepat mengambil kesimpulan. Gempuran informasi dari berbagai media menjadi salah satu penyebab manusia saat ini menyerap informasi secara tidak utuh. Mereka, kata Hawe, tahu banyak tapi tidak paham, luas tapi dangkal, dan mereka juga semakin jauh dari pergulatan pemikiran.

Menyikapi hal tersebut, Hawe menyebutkan, perlunya ikhtiar untuk meneruskan kebiasaan manusia yang sudah berlangsung ribuan tahun yaitu kesanggupan untuk sabar membaca pikiran sesama manusia, secara tenang, menyerap dan mengolah informasi menjadi pengetahuan untuk menopang rangkaian kerja budaya yang tak akan berkesudahan demi perbaikan kondisi kemanusiaan.

“Itulah yang saya maksudkan dengan belajar membaca. Jika republik literasi mesti dipertahankan, maka perpustakaan, rumah baca, jagat wacana, kiranya adalah tempat yang tepat untuk berbuat demikian,” tulis Hawe di laman republika.co.id.

Share this post