Berburu Waktu untuk Berubah (Bagian 1)

Berburu Waktu untuk Berubah (Bagian 1)

Menurut makna kamus, paradigma dapat berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut. Pengertian ini berlaku dalam ilmu bahasa. Di situ juga ada makna bahwa paradigma adalah model dalam teori ilmu pengetahuan. Nah, satu lagi bermakna sebagai kerangka berpikir.

Bagaimana bila kata paradigma dikaitkan dengan perubahan dan pendidikan? Barangkali salah satu jawabannya dapat disimak dari seminar pertama dalam rangkaian Pekan Perayaan Festival Literasi Indonesia (FLI) 2020 yang bertajuk “Paradigma Baru Pendidikan”. Dalam acara yang dihelat secara daring pada Senin (01/09) antara pukul 16.00-18.00 wib itu ihwal pertautan antara paradigma, perubahan, dan pendidikan berjalin kelindan menjadi sesi pemaparan yang menarik.

Faiz Ahsoul didaulat untuk menjadi pemandu seminar ini. Pegiat di Forum Taman Bacaan Masyarakat serta I-Boekoe ini sejak semula menyebutkan bahwa paradigma baru pendidikan Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari Covid-19 dan bagaimana responnya dan adaptasinya, supaya pendidikan terus bisa berjalan. Selain itu, ia juga, sebagaimana makna kamus di atas, menyatakan bahwa paradigma adalah konsep berpikir yang tidak terlepas dari konteksnya yang bila dikaitkan dengan pendidikan akan menjadi pembingkainya.

Untuk menjawab bagaimana paradigma pendidikan di masa pandemi seperti sekarang ini, Faiz mempersilakan dua narasumber untuk menyampaikan pandangannya. Dua narasumber tersebut adalah Dr. Samto (Direktur PMPK Kemendikbud) dan Ahmad Bahruddin (Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Qaryah Thayyibah). Dari antara kedua narasumber tersebut, Faiz mempersilakan Ahmad lebih dulu mendedahkan pemikirannya seputar isu yang diangkat tersebut.

Ujungnya Adalah Nalar Kritis
Sesuai dengan kapasitasnya sebagai Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Qaryah Thayyibah di Kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Ahmad Bahruddin lebih banyak merefleksikan pengalaman-pengalaman serta pemikiran-pemikirannya selama mengelola pusat kegiatan belajar tersebut. Ya, selama 17 tahun, sejak 2003, ia “mempraktekkan pendidikan pemerdekaan yang berwawasan kemandirian belajar dan apresiasi potensi” untuk anak-anak usia SMP dan SMA dengan status sebagai Pendidikan Kesetraan (Paket B dan C).

Pusat kegiatan belajar yang dibina Ahmad Bahruddin berprinsip empat hal, yakni “Pertama, semangat pembebasan dan perbaikan. Hal ini mensyaratkan perilaku kritis, dinamis dan kreatif, tak sekedar dogmatis dan statis. Kedua, asas keberpihakan terhadap siapapun yang berhak memperoleh pendidikan, terutama warga miskin dan tak mampu. Ketiga, kegembiraan sebagai dasar metodologi dalam proses belajar. Hal ini mensyaratkan peran guru sebagai fasilitator dan sikap murid yang dibimbing agar partisipatif. Keempat, prinsip kebersamaan kolaboratif dan partisipasi semua pihak dalam merancang sistem, yakni pendamping (guru), pengelola sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar. Hal ini sangat penting agar terciptanya sistem sekolah yang membumi dan melek lingkungan”.

Dengan kerangka “pendidikan pemerdekaan yang berwawasan kemandirian belajar dan apresiasi potensi” berikut empat prinsip itu pula Ahmad Bahruddin menyampaikan pandangannya seputar perubahan paradigma pendidikan di masa pandemi Covid-19. Dari kacamatanya, dengan adanya COvid-19, justru kita bisa kembali ke paradigma pendidikan yang ideal atau dapat melakukan hijrah ke arah pendidikan berparadigma baru.

Ia menyebutkan bahwa dalam paradigma pendidikan lama, guru, satuan pendidikan, selalu punya asumsi untuk mentransfer pengetahuan dan teknologi, informasi, ke peserta didiknya. Sehingga peserta didik dianggap sebagai objek penderita yang menerima pengetahuan, teknologi, informasi dari satuan pendidikan. Sekaligus pula peserta didik diasumsikan sebagai orang yang bodoh, sebagai kantong kosong yang harus diisi pendidik. Kondisi inilah, menurutnya, yang mengharuskan “hijrah” ke arah paradigma pendidikan yang bersifat fasilitatif. Dalam hal ini, tugas satuan pendidikan adalah sebagai fasilitator, untuk menyemangati agar pendidikan berjalan sesuai dengan konteksnya.

Dengan adanya wabah Covid-19 memungkinkan berubahnya model belajar yang tadinya berpusat di pengajar, sekarang berpusat di pembelajar itu sendiri. Saat sebelum adanya pandemi, pemerintah sangat besar memainkan peran pendidikan, kini yang harus dikedepankan, menurut Ahmad adalah “hijrah ke paradigma community role (peran komunitas)”. Bila paradigma ini bisa berjalan yakni dengan berpatokan bahwa pendidikan dimaksudkan mempertahankan, memberdayakan, dan memuliakan kehidupan dengan adanya Covid-19 ya biasa-biasa saja. Karena tujuan akhir pendidikan itu adalah nalar kritis bagi warga pembelajar, sehingga tidak bergantung kepada apapun dan siapapun, terlebih di era revolusi ICT saat ini.

Dengan suasana yang mengharuskan peserta belajar harus di rumah, dengan media yang dimilikianya, guru atau pengajar bisa melakukan penyemangaatan, fasilitasi, tidak harus tatap muka. Yang penting siswanya aktif, kreatif, dan inovatif, sehingga tidak bergantung kepada guru. Kemudian, Ahmad menggarisbawahi perubahan pandangan tersebut juga ditandai dengan perubahan pandangan terhadap sekolah. Katanya, “Ruang yang disebut sekolah itu harus menjadi ruang refleksi bersama untuk memperoduksi pengetahuan, bukan mengonsumsi pengetahuan yang dibawa oleh seorang guru.”

Share this post