Filosofi Menanam Pohon Jati Literasi di Bukik Ase, Padang

Filosofi Menanam Pohon Jati Literasi di Bukik Ase, Padang

Gerakan literasi dalam rangka membangun masyarakat ibarat menanam pohon jati. Hasilnya, tak serupa menanam kangkung yang bisa dipetik dalam tiga atau empat minggu. Pohon jati membutuhkan waktu 7 sampai 14 tahun, untuk bisa diambil dengan harga mahal karena kualitasnya. Dibutuhkan kesabaran ekstra, dan semangat kegotoroyongan yang terjaga dalam waktu panjang.

Filosofi menanam pohon jati tersebut tumbuh kuat dari dalam diri Yusrizal KW saat terlibat dalam gerakan literasi masyarakat sejak membersamai Komunitas Tanah Ombak. Setelah tiga tahun berlalu, ia berhijrah untuk mendenyutkan literasi di wilayah-wilayah yang tingkat kesulitannya tinggi. Kini, ia memulai kembali gerakan literasi masyarakat dari nol di Bukik Ase, Padang. Siklus tiga tahunannya itu merupakan kesadaran untuk membangun literasi masyarakat di wilayah berbeda agar merata.

Gerakan Literasi, baginya, adalah gerakan membangun masyarakat dengan cara yang literat. Karena itu, sebuah proses sangat penting untuk melahirkan atau mengubah seseorang menjadi lebih literat di masyarakat. Gerakan literasi sesungguhnya dapat membantu masyarakat dengan membangun manusianya. Sebuah masyarakat yang menerima manfaat dari gerakan literasi adalah masyarakat yang berilmu pengetahuan dan berwawasan.

Menurut Ketua Forum TBM Sumatera Barat itu, gerakan literasi merupakan ranah perjuangan, karena di dalamnya, ada upaya “membangun masyarakat”, yang artinya adalah: menginspirasi satu orang atau lebih dalam menemukan potensi diri atau kolektif sebagai kemajuan literat. Kemajuan literat, dalam hal ini, bermakna memiliki kemampuan mengatasi masalah dan menemukan solusi kreatif karena berilmu pegetahuan atau skill dari kemauan belajar. Untuk hal itu, relatif tidak mudah, bahkan dapat perlawanan sebagaimana pengalamannya.

“Upaya pegiat membangun gerakan literasi demi masyarakat memiliki pengetahuan untuk memecahkan masalah sehingga berpengaruh terhadap kemauan belajarnya yang meningkat. Selain itu, gerakan literasi dapat mengajak masyarakat untuk berekreasi ke dunia baru, dalam hal ini, menemukan potensi, kearifan lokal, yang menjadi kekayaan bersama. Pada akhirnya, kemajuan gerakan literasi masyarakat dapat tercipta dari saling belajar satu sama lain,” ujarnya.

Tingkat keberhasilan gerakan literasi masyarakat, menurutnya ditentukan oleh komitmen dan ketangguhan relawan, berikut program-program serta kemampuan dalam mempertemukan berbagai potensi serta sumber daya setempat. Ia menambahkan bahwa syarat dalam gerakan literasi, yaitu ketangguhan relawan literat. Artinya, seseorang atau sekelompok orang yang berilmu/berwawasan dan memiliki kemampuan berkomunikasi serta membangun hubungan baik dengan lingkungan sekitar. Karenanya, karakter relawan literat yang sangat menyadari ketulusan dalam berliterasi merupakan energi positif yang tak akan melelahkan dalam berbuat dan berbagi.

Penggagas Padang Membaca itu pun menerangkan bahwa semangat kerelawanan, adalah semangat pengabdi masyarakat, yang kehadirannya mengemban amanah “sang pencerah”, tanpa pamrih meluangkan waktu, pikiran, tenaga dan bahkan finansial sebagai bagian perjuangan kaum literat dalam “membangun masyarakat”. Semangat kegotongroyongan, dalam gerakan literasi, sesuatu yang bisa didefenisikan sebagai upaya bersama membangun, yang kontribusinya berdampak kepada masyarakat supaya literat. Masyarakat literat, memahami semangat gotong royong sebagai energi yang satu sama lain saling menguatkan, kemudian berdampak pada apa yang diinginkan atas nama kemajuan bersama.

“Akhir-akhir ini, saya senang menggunakan istilah literat karena pemahaman keberilmuan tersebut hasil dari membaca, diskusi, menonton, sebagai modal. Pegiat membantu masyarakat untuk menemukan potensinya agar berkembang dan menjadi lebih baik,” lanjut Yusrizal.

Ia kerap melibatkan banyak pihak, baik tokoh masyarakat, pengusaha, LSM, politisi, walikota, untuk memperkenalkan kepada mereka tentang gerakan literasi masyarakat. Karena kata “gerakan”, berarti sebuah kerja membangun, menjalankan program sesuai apa yang dicita-citakan bagi masyarakat setempat dengan mengajak banyak orang dari berbagai tempat, komunitas, perguruan tinggi, tokoh, pejabat, politisi, dan lainnya, menjadi bagian dari perjuangan, baik sebagai donatur, simpatisan aktif, sharing program dan sebagainya.

Program-program yang telah digagas dan diselenggarakan Yusrizal di Bukik Ase, diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat setempat. Misal, pusat kegiatan belajar, PAUD Gratis, pelatihan bagi ibu-ibu, dll. Ia pantang menyerah untuk menemukan potensi-potensi khas setempat, yang menjadi bagian mereka, lalu mewadahi proses belajar dan beraktivitas. Pelibatan masyarakat, dalam hal ini, mencari masukan program dan kemudian mengajak mereka menyelenggarakannya secara bersama-sama.

Seperti dijelaskannya, bahwa semangat kegotongroyongan merupakan khas orang Minang. Cirinya seperti pada kalimat Basamo Mangko Manjadi, yang artinya bersama makanya berhasil, atau, bersama kita bisa. Ada adagium kearifan lokal, katanya, yaitu duduak surang basampiaksampiak, duduak basamo balapang-lapang, berarti duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Filosofinya, sesuatu yang diperjuangkan dan dikerjakan bersama-sama, peluang berhasilnya besar, karena: Gotong royong adalah energi yang menggerakkan perubahan dahsyat.

Semangat kegotongroyongan bagi orang Minang juga tumbuh dalam berdonasi untuk membantu dan meringankan perjuangan atau merayakan dalam upaya membangun bersama. Ketika ada ajakan berdonasi, dan orang Minang setuju berpartisipasi, maka ia akan menjawab: Oke, saya ikut nyumbang nanti, ya. Jika tak penuh ke atas, penuh ke bawah, yang berarti minimal ia akan bantu walau sedikit (penuh ke bawah). Dalam bahasa lain: ada istilah sato sakaki yang artinya ikut sekaki, yang bisa dimakna-artikan: menjadi bagian dari langkah-langkah besar perjuangan. Itu adalah spirit kearifan lokal penuh makna, dan bisa dimanfaatkan oleh para relawan sosial.

Share this post