Ketahanan Sosial Berbasis Potensi Lokal

Ketahanan Sosial Berbasis Potensi Lokal

Partisipasi tidak lahir dari ruang hampa seperti praktik baik gerakan literasi masyarakat Nursyda Syam dan Yusrizal KW dalam ketahanan sosial. Faiz Ahsoul menyitir ketahanan sosial berbasis pada potensi lokal dalam gerakan literasi masyarakat dari kedua narasumber tersebut. Satu hal yang perlu ditelisik, menurutnya, yakni kita memiliki daya dan berdaya. Bagaimana memunculkan daya dan berdaya? Kuncinya, yakni partisipasi ketahanan sosial dalam gerakan literasi masyarakat.

“Arah gerakan literasi kita mau ke mana?” ia kemudian mendedahkan diksi literasi sebagai milik bersama, hampir semua bidang menggunakannya. Namun, perbedaannya tidak sekadar ‘literasi adalah’. Menurutnya, terdapat kesadaran, kemampuan, dan kapasitas, yang merupakan tiga syarat untuk melahirkan partisipasi sosial.

Pada sebuah diskusi Pengurus Pusat dan Pengurus Wilayah Taman Bacaan Masyarakat, ia teringat dengan pembahasan bahwa payung hukum dan piranti lain tanpa keberadaan relawan maka gerakannya tidak akan berjalan. Faiz mengutip, “Selama kadernya ada, gerakan akan tetap berjalan,” dari pernyataan Opik, Ketua Forum TBM Jawa Barat dari diskusi tersebut. Artinya, nomenklatur dan payung hukum hanya sebagai piranti, jika kaderisasi terus tumbuh dan hidup, maka tidak terlalu khawatir untuk keberlangsungan gerakan ke depannya.

“Intinya bahwa kaderisasi berkaitan dengan kapasitas dan partisipasi publik!” tegas penggemar Noam Chomsky itu.

Faiz merunut soal kapasitas yang tidak terlepas dari pola regulasi, kebijakan, ekstraktif, distributif, responsif, dan jaringan. Inti sari dari hasil memeras regulasi dan kebijakan/aturan merupakan terobosan dalam keadaan buntu seperti masa pandemi. Hampir semuanya runtuh, collapse, jika partisipasi kita sekadar pemahaman gotong royong/kerja bakti bersifat fisik maka nilai-nilai ekstraksi sebuah sistem sosial tidak begitu muncul untuk menemukan solusinya. Selanjutnya, hal terpenting dari distribusi, yakni bagaimana pemerataan, berbagi kesempatan, satu sama lain saling memosisikan diri untuk memahami bahwa ada yang lebih butuh dari kita. Sebagai pegiat literasi dalam wadah besar Forum TBM, satu dengan yang lain juga harus responsif. Ketika ada kejadian di sebuah wilayah yang menimpa TBM tertentu, harus merespons untuk membantu dengan cara mengukur kapasitas masing-masing.

Untuk menjawab keempat poin yang telah dijelaskan Faiz sebelumnya, kerja-kerja jaringan/kemitraan harus dibangun karena pihak mana pun tidak bisa bergerak sendirian. Tidak sebatas membesarkan TBM masing-masing, tetapi harus memiliki jaringan untuk berkolaborasi. Kesadaran atas kapasitas dari empat poin sesuai penjelasannya dapat memetakan rencana strategis dan praksis, termasuk kesepakatan bersama serta energi material atau pendanaannya. Pemahaman gotong royong dalam gerakan literasi masyarakat yang sebatas kerumunan atau kumpulan, “Geruduk ke sana ke mari meskipun niatnya hanya responsif semata maka sifatnya sementara,” terangnya kemudian.

Menurutnya jika berbicara gerakan harus berpikir panjang dan jauh, tidak bisa secara taktis. Ada fondasi pemikiran yang harus menjadi kesadaran kolektif. Bahan utama ketahanan sosial, kuncinya kepercayaan. Satu dengan yang lain jika sudah saling percaya berpengaruh terhadap gerakan yang akan lebih progresif. Kita akan bisa meminimalisir hal-hal kontraproduktif. Namun, apakah percaya itu sebuah kata yang bersifat abstrak tanpa diikat hal-hal bersifat konkret? Jelas bisa! Salah satunya, terkait kapasitas sumber daya dalam proses kaderisasi maka kerja-kerja kolektif akan berjalan.

Kapasitas pemangku kebijakan harus berbanding lurus dengan sumber daya pegiat agar jaringan kemitraan tercipta kepercayaan satu sama lain. Ketika kapasitas pemangku kebijakannya sangat progresif, bagus, visioner, tapi pegiat literasinya tertinggal jauh maka ketahanan sosialnya sulit terwujud. Keduanya butuh jembatan, yaitu transparansi pemangku kebijakan (pemerintah, swasta, masyarakat). Satu sama lain harus bisa membuka diri atas kapasitas yang jika perlu di-upgrade. Seperti diketahui, Direktorat PMPK memberi ruang untuk pegiat literasi agar meningkatkan kapasitasnya.

Berdasarkan kesimpulannya, bahwa partisipasi dan kolaborasi harus membangun pola hubungan baru antartiga pemangku kepentingan: pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketiganya melakukan penyesuaian tata kerja sama, duduk bersama dengan pola kolaborasi, membangun kultur kerja berbasis partisipatif. Jika salah satunya patah maka negara ini tidak berjalan dengan baik.

Share this post