Berburu Waktu untuk Berubah (Bagian 2)

Berburu Waktu untuk Berubah (Bagian 2)

Harus Segera Berbenah

Setelah 15 menit berlalu, tibalah giliran Dr. Samto yang memberikan tinjauannya. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilantik pada 4 Juni 2020 itu menekankan kesegeraan untuk berbenah untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di tanah air dengan paradigma pendidikan yang baru.

Dalam paparannya, Dr. Samto berangkat dari manajemen perubahan dengan ramalan-ramalan yang akan terjadi di masa depan. Mula-mula dia mengetengahkan konsep VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang pertama kali digunakan pada 1987 di bidang militer yakni bila terjadi kondisi yang penuh ketidakpastian dan secara dinamis mengubah situasi militer yang mana terjadi lack of information.

Inti dari VUCA adalah lingkungan yang labil karena perubahan terjadi amat cepat dan dalam skala besar (Volatile). Dengan kondisi ini yang terjadi adalah sulitnya memperkirakan dengan akurat apa yang akan terjadi (Uncertain), tantangannya menjadi lebih rumit karena banyaknya faktor yang saling terkait (Complex), serta ketidakjelasan suatu kejadian dengan mata rantai akibatnya (Ambiguous). Bagi di dunia pendidikan saat ini, Dr. Samto mencontohkan dengan kita tidak siap saat tiba-tiba harus menggunakan zoom, tiba-tiba harus belajar dari rumah, dan lain-lain. Padahal bila, katanya, bila kita mengingat konsep VUCA kita dapat mempersiapkan diri sehingga bisa bertahan. Meski yang terjadi adalah kita tenang-tenang saja, sehingga akhirnya terkejut-kejut dengan perubahan yang serba mendadak.

Ramalan kedua yang disajikan oleh Dr. Samto adalah Proyeksi McKinsey untuk tahun 2030. Menurut lembaga konsultan manajemen McKinsey & Company dalam laporannya yang bertajuk “Otomasi dan masa depan pekerjaan di Indonesia: Pekerjaan yang hilang, muncul dan berubah” diperkirakan bahwa di Indonesia pada tahun 2030 akan ada 23 juta pekerjaan yang dapat digantikan oleh proses otomasi; 27 juta hingga 46 juta lapangan kerja baru dapat diciptakan dalam periode tersebut; dan 10 juta dari lapangan kerja tersebut merupakan jenis pekerjaan baru yang tidak ada sebelumnya.

Dengan menyajikan perkiraan ini, Dr. Samto tengah menggarisbawahi bahwa bila kita masih menggunakan paradigma pendidikan yang lama, maka potensi yang tergilas oleh otomatisasi pekerjaan akan kian banyak. Sehingga, dengan demikian, ia menyatakan bahwa perkiraan ini juga seharusnya sudah mewarnai pendidikan kita di tanah air, demi menyiapkan generasi masa depan kita untuk kondisi-kondisi yang sangat tidak menentu ini.

Ramalan selanjutnya yang disajikan Dr. Samto adalah akselerasi adaptasi teknologi digital. Hal ini ditimbanya dari Hukum Moore (Moore’s Law), yang dirumuskan Gordon E. Moore pada tahun 1965. Dalam konteks kompetisi fabrikasi chip silikon di era mikroelektronika modern, Moore terkenal dengan kutipannya “With unit cost falling as the number of components per circuit rises, by 1975 economics may dictate squeezing as many as 65,000 components on a single silicon chip”. Hal ini bila disimak dari penyajian Dr. Samto adalah diramalkan bahwa perkembangan teknologi akan melesat jauh melebihi kemampuan adaptasi manusia, maka disarankan oleh Moore itu bahwa manusia itu harus belajar lebih cepat dan pemerintah harus cerdas dalam arti memberi fasilitas kepada seluruh rakyatnya agar masyarakatnya lebih cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Dengan latar tersebut, ia melihat bahwa dalam kurun waktu 2 tahun belakangan kita selalu membicarakan revolusi industri 4.0 tapi baru sebatas riuh rendah di arena seminar dan pidato pencitraan. Demikian pula infrastruktur masih rendah dan budaya belajar mandiri masih memprihatinkan. Para pelajar kita tidak dibiasakan belajar yang kontekstual, untuk memecahkan masalah-masalah keseharian di dalam lingkungan hidup mereka. Mereka dijejali hapalan, padahal yang sangat penting adalah pemahaman. Para pelajar di tanah air pun sudah terbiasa diawasi dengan ketat, sejak masuk hingga pulang, dan mereka baru akan menunjukkan respon bila diberikan stimulus. Padahal seharusnya mereka diberi kepercayaan, tanggung jawab, jangan sampai semuanya diatur dan dirumuskan oleh pendidik.

Itulah perubahan paradigma pendidikan yang dimaksudkan Dr. Samto: transformasi pembelajaran dari behavioristik ke konstruktivistik. Dari yang biasanya murid diberitahu, guru sebagai sumber utama, bersifat tekstual, berbasis konten, parsial, jawaban tunggal dan verbalisme menjadi peserta didik dipacu untuk mencari tahu, berbasis aneka sumber belajar, menerapkan pendekatan ilmiah (STEAM), berbasis komptensi, holistik/terpadu, punya jawaban multidimensi dan kontekstual, kreativitas serta fleksibel.

Dengan transformasi pembelajaran tersebut diharapkan muncul pula VUCA lainnya, yakni peserta didik dirangsang agar memiliki tujuan dan target sendiri (Vision); mereka didorong untuk memahami permasalahan yang dihadapi di sekitarnya sekaligus dirangsang untuk memecahkan masalah tersebut (Understanding); mereka juga didorong untuk mempunyai kompetensi, bahkan ditambah dengan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, yang merupakan tuntutan hidup pada abad ke-21 ini (Competency); dan mereka pun seharusnya dapat bersikap luwes, fleksibel, tidak mudah putus asa, tangguh dan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi (Agility).

Dengan demikian, dengan contoh nyata yang dilakukan Ahmad Bahruddin ditambah tantangan dan peluang di masa sekarang dan yang akan datang yang disajikan Dr. Samto, seyogyanya kita memang harus berburu waktu untuk mengubah kerangka berpikir pendidikan di tanah air. (Atep Kurnia)

Share this post