Wirausaha Kreatif: Pendidikan Berkelanjutan dan Kemandirian Masyarakat

Wirausaha Kreatif: Pendidikan Berkelanjutan dan Kemandirian Masyarakat

Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kembali menggelar diskusi daring bertajuk Serambi Literasi. Diskusi tersebut merupakan rangkaian peringatan Hari Aksara Internasional 2020, yang memasuki sesi ke-7 dari 10 sesi yang telah direncanakan. Pada Sesi 7 ini mengangkat tema “Wirausaha Kreatif: Pendidikan Berkelanjutan dan Kemandirian Masyarakat”, mengenai literasi finansial, terutama praktik serta contoh-contoh baik wirausaha kreatif dalam membangun kemandirian TBM, relawan, dan masyarakat. Selain itu, pada sesi ini mendedahkan konsep dan praktik dalam membangun pengetahuan dan kecakapan literasi secara berkelanjutan..

Usaha Kreatif Berbasis Literasi

Komunitas Literasi Rumah Kreatif Wadas Kelir, Purwokerto, Jawa Tengah, telah memulai lini usahanya sejak 2019. Menurut Dr. Heru Kurniawan, M.Hum, pendiri TBM Wadas Kelir, lini usaha yang dibangunnya itu berkonsep literasi. Tampil sebagai pembicara pertama pada Sesi 7 Serambi Literasi, Heru memaparkan perjalanan TBM Wadas Kelir yang dibaginya menjadi tiga periode. Periode 2013 s.d. 2016, awal TBM Wadas Kelir berdiri berorientasi pada kegiatan literasi berbasis prestasi. Periode 2016 s.d. 2019, orientasi yang dikembangkan adalah membangun relawan yang bertempat di masyarakat, literasi berbasis prestasi dan pendidikan, serta pengembangan sarana dan prasarana. Terakhir, periode 2019 s.d. 2020 memulai usaha dalam konsep literasi.

TBM Wadas Kelir didirikan bertitiktolak dari 3 pertanyaan mendasar, yaitu: mengenai tujuan, personel, dan program kerja. Pada masa pandemik di tahun 2020 ini, TBM Wadas Kelir mengembangkan usaha kreatif literasi dengan teknologi sosial. Usaha kreatif ditujukan untuk membangun kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mandiri dalam pembiayaan hidup dan pendidikan. Usaha kreatif TBM Wadas Kelir dikembangkan dengan basis pengelolaan pelayanan terbaik. Berdasarkan hal-hal tersebut, kerja-kerja TBM Wadas Kelir dalam unit-unit usaha kreatif dikembangkan relawan dan remaja.

Perkembangan lini usaha TBM Wadas Kelir ini tidak lepas dari adanya tata kelola berupa sistem kinerja terbaik dalam mencapai hasil yang maksimal. Sistem tersebut ditunjang oleh beberapa model kinerja yang terstruktur. Pertama, membentuk tim kerja yang diisi para relawan berdasarkan minat dan potensinya. Mereka diberikan tanggung jawab untuk dapat mengelola unit-unit usaha sebaik mungkin. Kedua, membuat jam kerja dan tugas dengan pemberlakuannya yang sangat penting dalam membangun profesionalisme para relawan dalam tim kerja. Semuanya berkerja berdasarkan SOP dan job desk-nya masing-masing. Hal itu untuk membantu mereka mencapai target dan program kerja yang telah ditetapkan. Ketiga, target-sasaran yang harus dicapai dibuat setiap bulan. Hasilnya dievaluasi setiap bulan juga. Pengawasannya dilakukan setiap minggu. Keempat, bentuk pelayanan dari unit usaha TBM Wadas Kelir didesain untuk memberikan pelayanan yang ramah dan menyenangkan. Untuk dapat memberikan pelayanan seperti itu, maka para pengelola dibekali motivasi, membangun komitmen, dan keyakinan, bahwa membantu itu hebat. Kelima, keuangan dengan pengelolaan keuangan seluruhnya diserahkan kepada unit usaha masing-masing. Hasil usaha dari unit tersebut dialokasikan untuk pengelola dan 10% diserahkan bagi pengembangan TBM Wadas Kelir. Terakhir, evaluasi dan pelaporan yang pelaksanaannya dilakukan bersama secara rutin pada akhir minggu dan bulan.

Dari kegiatan lini usaha TBM Wadas Kelir sudah membuahkan hasil, di antaranya: kegiatan literasi berjalan baik di masa pandemi, latihan bekerja dengan baik untuk relawan dan remaja, pendapatan relawan dan remaja untuk pendidikan, serta pengembangan sarana dan prasarana bisa mandiri dilakukan. Untuk bisa mendapatkan hasil-hasil yang memiliki dampak lebih lagi ke depannya, TBM Wadas Kelir melakukan pengembangan yang berfokus pada peningkatan kualitas SDM melalui belajar, berkarya, dan mengabdi dalam bidang ilmu pengetahuan. Semua itu, menurut Heru, dilakukan agar literasi sebagai perjalanan jauh dapat konsisten dapat ditempuh.

Merajut Asa Meraih Mimpi

Tampil sebagai pembicara kedua pada Serambi Literasi Sesi 7, Hastuti Setyaningrum, S.Pd, memaparkan bagaimana Sekolah Keterampilan Wijaya Kesuma (SKWK), Sleman, dalam menjalankan usaha kreatifnya. SKWK bermula dari tahun 2014 melalui pemberdayaan ibu-ibu sekitar. Adapun nama programnya “dari buku menjadi karya”. Program ini berproses dan berkembang tidak lepas dari kolaborasi SKWK dengan berbagai pihak, yaitu: pemerintah, lembaga swasta/LSM, dan masyarakat. Saat ini, SKWK memiliki 3 unit usaha, meliputi: sekolah keterampilan, sanggar seni budaya, dan pelatihan/training.

SKWK menyelenggarakan program-program yang diklasifikasikan dalam program internal dan program eksternal. Program internal SKWK terbagi menjadi program mingguan, bulanan, 6 bulanan, dan tahunan. Program mingguan berupa kegiatan rutin setiap hari Selasa, pada pukul 13.00, yang diisi materi keterampilan (kuliner/kerajinan, dll). Fokusnya adalah berbagi ilmu dari anggota untuk anggota. Program bulanan adalah kegiatan studi keluar dengan tujuan ke tempat-tempat yang berhubungan dengan dunia usaha seperti kunjungan ke pengrajin lurik ATBM, produsen olahan salak, dll. Tujuannya menambah wawasan dan motivasi untuk mengembangkan potensi dirinya. Program 6 bulanan, yaitu program pelatihan dengan materi baru dan mengundang narasumber dari luar SKWK. Dan, program tahunan ialah kegiatan buka puasa bersama dan syawalan yang diikuti oleh semua anggota SKWK. Para anggota bisa mengakses program-program tersebut yang sesuai minatnya masing-masing.

Sedangkan program eksternal, yaitu: (1) Program sosial kemasyarakatan/program berbagi ilmu yang diberikan tanpa biaya. Jadi murni berbagi ilmu; (2) Program Pameran yang dilaksanakan atas undangan dari Lembaga Pemerintah maupun atas inisiatif sendiri yang dapat diikuti oleh semua anggota SKWK; (3) Program Pelatihan untuk umum yang dilaksanakan atas undangan dari pihak luar. Sifatnya berbayar; (4) Program kerja sama dengan Instansi Pemerintah, Institusi Pendidikan maupun lembaga nonpemerintah.

Dalam mengampu program-program tersebut, SKWK membentuk beberapa tim, yaitu: tim kuliner, tim kerajinan, tim shibori/jumputan/ecoprint/batik, dan tim hidroponik. Selain itu, SKWK juga membangun kemitraan dan berjejaring dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sleman, Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman, Dinas Koperasi dan UMKM Sleman, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sleman, Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Sleman, BPTP DIY, Jurusan PLS FIP UNY, PPM FEB UNY, PPM FMIPA UNY, Tim Google Gapura Digital, FTBM DIY dan FTBM Sleman, Pemerintah Kecamatan Ngemplak, serta Pemerintah Desa Wedomartani.

Keberadaan SKWK sendiri sebagai usaha dalam merajut asa meraih mimpi, utamanya: (1) Untuk dapat menjadikan SKWK sebagai tempat dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi masyarakat setempat sehingga memiliki pemahaman yang luas, kecakapan literasi dan membentuk masyarakat pembelajar sepanjang hayat; (2) Mampu mengeksplorasi dan memberdayakan semua potensi yang dimiliki anggota untuk mewujudkan kemandirian ekonomi; (3) Mampu mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal.

Keragaman Hayati Lokal Menuju Kemandirian Ekonomi

Aulia Wijiasih dari ESD Indonesia tampil sebagai narasumber ketiga pada diskusi daring Serambi Literasi Sesi 7. Aulia mengangkat paparan “Mengenalkan Budaya Keragaman Hayati Lokal Membangun Kemandirian Ekonomi Berkelanjutan yang Lestari.” ESD Indonesia sendiri sudah memiliki pengalaman dalam mengawal program nasional, di antaranya: Sekolah Sobat Bumi, Adiwiyata Green School Indonesia, Perintis Sekolah Hijau REDD, Penjaminan Mutu Pendidikan Dikdasmen dan lainnya. Dalam kegiatannya, seperti halnya komunitas lain, ESD Indonesia juga tidak bisa lepas dari kerja kolaborasi. Hal pertama yang dilakukan adalah menjalin kolaborasi dengan elemen daerah lokal tersebut, seperti: tetua kampung, tetua adat, tokoh masyarakat, dan sesepuh setempat. Mereka sering kali memiliki banyak cerita tentang potensi dan kearifan lokal yang tidak ada di dalam buku-buku.

Pemetaan potensi lokal sebenarnya bisa juga dilakukan oleh anak-anak. Bagaimana mengintegrasikan kegiatan ini menjadi pembelajaran di sekolah? Hal ini dapat menjadikan materi pembelajaran yang mereka dapatkan semakin relevan, karena materi pembelajaran disajikan dengan konteks lokal daerah mereka berada. Tentu saja pembelajaran dengan model yang demikian menawarkan belajar yang bermakna bagi para siswa. Lebih jauhnya, mereka dibekali kompetensi dan kecakapan yang bersifat inklusif dan kontekstual untuk masa depannya. Sehingga, generasi penerus memiliki kompetensi dan kecakapan yang berakar pada budayanya sendiri.

Hasil pemetaan potensi lokal yang dilakukan oleh masyarakat dapat berupa: buku, keterampilan bernilai ekonomi, kegiatan ekonomi rendah emisi, dan ekowisata dengan beragam tujuan. Ekowisata yang dapat dikembangkan dari hasil pemetaan potensi lokal ini dapat menawarkan keragaman hayati, kuliner, serta hal-hal lainnya. Sehingga, wisata tidak didesain dengan hanya menawarkan satu destinasi wisata tertentu. Dalam pengembangannya, sumber daya lokal tersebut harus dibantu sehingga dapat berjejaring dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Selain itu, penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dan literasi digital menjadi hal penting lainnya.

Membangun kemandirian ekonomi berkelanjutan yang lestari melalui pemberdayaan budaya keragaman hayati lokal sejatinya merupakan upaya menguatkan SDM yang dapat mengolah SDA daerahnya. Didalamnya mengendap nilai-nilai gotong-royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, berakhlak mulia, kreatif, dan mandiri. Hal ini sesuai dengan misi Pembelajar Pancasila, tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), pembangunan keterampilan abad 21, serta pendidikan yang berorientasi masa depan.

Share this post